pojokkatanews.com – Aliran sungai sejak dahulu, merupakan andalan warga sebagai jalur transportasi.
Tak hanya itu, roda perekonomian pun berputar seirama laju arus sungai yang mengalir, mengantarkan padi jagung dan kedelai kepada tuan tuan para pembeli, menjajakan atap daun pembungkus gubuk kepada konsumen pra sejahtera.
Jelasnya sungai dan anaknya adalah urat nadi ekonomi yang sudah ada sejak masa jaya para raja, hingga kini dilupakan negeri.
Adalah sungai Siapat, atau Parit siapat, sebuah anak sungai yang tak banyak berliku, membentang memanjang menghubungkan sungai sambas kecil dan sungai sambas besar, membelah Desa Lorong dan Kartiasa di Kecamatan Sambas.
Parit ini, memangkas rentang panjang jarak tempuh, memotong masa dan waktu, perannya bisa dibilang mirip terusan suez yang terkenal itu, dengan ukuran yang jauh lebih kecil tentunya.
Di atas parit ini dahulu, tak ada aturan batas tonase bagi muatan yang melintas, hasil bumi seperti padi, jagung, ketela, umbi, lada, jeruk, kelapa, sawo dan aneka lainnya dari Kecamatan Sejangkung, Sajingan, Sekura, Teluk Keramat hingga Kecamatan Paloh hilir menuju kota dan menyebar ke kota-kota lainnya, melalui parit ini.
Demikianlah sebuah jasa, gambaran fungsi dan peran besar sebuah parit, mengawal perut rakyat sejak zaman penjajahan belanda dan jepang, sejak berkuasa para sultan.
Perkembangan demi perkembangan hinggap di sisi negeri, demikian pula Kabupaten bergelar Serambi Mekah ini. Kemajuan dan perekonomian memberi syarat, infrastruktur harus di nomorsatukan, jargon jalan mulus rakyat makmur menjadi keniscayaan yang mutlak.
Apalah arti sebuah parit selebar lima meter lebih, dibanding hitamnya kilauan aspal yang menjadi simbol kepedulian pemerintah terhadap rakyatnya, peduli untuk memberikan hak yang memang sudah semestinya seharusnya.
Untuk apa menangisi sebuah parit, ungkapan ini seolah sebuah pertanda taman makam pahlawan bagi parit siapat.
Tapi seperti itulah kira-kira yang dikatakan banyak orang, “Ah sudahlah, biarlah, kaatinye dahbe, nak ngape juak, nak bagaimane agek,” rentetan kata bahasa daerah sambas yang diucapkan beberapa sahabat saat ditanyai nasib Parit Siapat yang bermakna sama yakni Emangya Gue Pikirin, Mane Duli
Seiring berkembangnya zaman, dari jalan lutut ke sepeda, dari sepeda ke sepeda motor, dari kuda besi ke gajah logam, akses darat adalah idola, pertanda negara kaya, rakyat sejahtera.
Parit Siapat mulai kehilangan eksistensinya, masyarakat mulai lupa akan besar perannya. .
Peralihan dari perahu kepada sepeda motor membuat parit ini kehilangan jati diri, hilangnya dayung yang mengaduk parit membuat rerumputan subur menutupi jejaknya, menaungi lumpur menjadikannya dangkal dan meninggi, mengecilkan rongga dan arteri. Siapat hampir mati.
Dibangunnya fasilitas infrastruktur seperti jalan dan jembatan, serta pembangunan rumah oleh warga seolah acuh kepada Parit Siapat ini, hal tersebut tambah kronis saat sebuah jembatan yang menghubungkan jalan Kartiasa dan Jalan Lingkar berdiri membungkuk diatas parit ini.
Struktur jembatan yang angkuh ini juga seolah mengangkangi Parit Siapat yang malang. Dengan perkiraan lebar bawah jembatan sekitar 4 meter dan tinggi kurang dari 2 meter dari permukaan tanah, seolah ingin mengakhiri keberadaan parit Siapat.
Demikian juga dengan pemukiman warga, perlahan mulai menggenangi parit siapat, menutup alirannya, menumpukinya dengan sampah rumah tangga. (Red)