pojokkatanews.com- Kain Songket Benang Emas Sambas adalah simbol tingginya peradaban dan budaya daerah Kabupaten Sambas
Kilau keemasannya merupakan laksana, semakin banyak bunga emas dan pucuk rebung, maka semakin tinggi nilainya, semakin terpandang juga pemakainya.
Bahkan Kain Tenun Songket Sambas juga merupakan syarat tak tertulis sebuah pernikahan. Prosesi antar pinang atau penyerahan barang untuk mempelai perempuan oleh mempelai laki-laki, mutlak mesti disertai kain tenun songket sambas, tak dituliskan namun ia sebuah keharusan.
Budaya ini terus terjaga hingga kini, namun tak seiring dengan nilainya, menjadi penenun kain songket sambas kurang diminati generasi muda, anak zaman milenium.
Fajar Dwi Rohyani, perempuan yang juga seorang pegawai negeri sipil di pemerintahan Kabupaten Sambas, menjadi tali bagi para penenun dengan berbagai pihak yang peduli agar songket sambas lestari.
Dikatakan dia, dari setengah juta lebih penduduk Kabupaten Sambas, hanya 250 sampai 300 orang saja yang menjadi penenun, dan diantara jumlah tersebut cuma puluhan diantaranya yang berusia 30 an, sisanya berusia 50 an tahun.
“Ini salah satu kendala yang kita hadapi, jika sebelumnya menjadi penenun kain songket sambas tidak begitu diminati karena pasarnya yang sempit dan harganya terlalu murah, akan tetapi sekarang popularitas dan kualitas telah menjayakan kain ini hingga selalu dicari, akan tetapi para penenun kita sudah berusia 50 an, ini sebagian besar dari 250 hingga 300 penenun yang ada di Kabupaten Sambas, yang usianya 30 an bisa dihitung dengan jari,” keluhnya.
Keengganan untuk menjadi penenun semestinya tidaklah menjadi jamur, jika melihat kondisi sekarang dimana kain tenun songket sambas ini begitu dicari dan bernilai tinggi. Akan tetapi zaman mungkin menggerus anak-anak gadis yang lebih senang nongkrong di cafe ketimbang menjadi penenun yang meneruskan tradisi.
Kebimbangan akan punahnya budaya nan kaya ini dirasakan banyak orang, karena itulah Ibu Fajar mendorong agar Sekolah-sekolah membuat satu kegiatan muatan lokal, yakni bertenun kain songket sambas.
“Sejauh ini sudah ada satu sekolah yang aware terhadap nilai budaya, tradisi dan ekonomi dari tenun kain songket Sambas, SMA N 1 Sajad menjadikan Bertenun Kain Songket Sambas sebagai pelajaran muatan lokal mereka,” ungkapnya.
Di masa lampau, bertenun kain songket sambas merupakan sebuah pekerjaan yang sangat digandrungi, ini adalah profesinya para gadis.
Bahkan pada era pemerintahan Presiden Soeharto, satu gadis dari Kabupaten Sambas dibawa ke Jakarta untuk memperkenalkan cara bertenun kain songket sambas pada saat peresmian Taman Mini Indonesia Indah pada 20 April 1975.
Dia adalah Ibu Mardiah, warga Desa Tanjung Mekar Kecamatan Sambas, perempuan pertama yang memperkenalkan kain tenun songket sambas kepada Presiden dan Ibu Negara Indonesia.
“Saat itu saya umur belasan tahun, dibawa oleh Dinas Perdagangan ke Jakarta, untuk menunjukkan cara bertenun kain songket Sambas di depan Ibu Tien Suharto, di acara peresmian Taman Mini Indonesia Indah,” kenangnya.
Tak hanya kain tenun hasil tangannya yang menjadi purwarupa budaya Sambas di kancah nasional kala itu, namun juga rumah atau mesin tenun tradisional buatan sang ayah yakni Alm H.Tan Arwi Abbas juga diletakkan disana, dulu dan mungkin hingga sekarang.
“Rumahan tenun buatan ayah saya juga diminta untuk ditinggalkan sebagai barang pameran disana, Ibu Tien titip oleh-oleh baju kemeja batik dan kain batik untuknya serta penghargaan,” tuturnya.
Di usianya yang sudah menginjak lebih 65 tahun sekarang ini, Ibu Mardiah tak lagi kuasa bertenun, namun dia mengingat setiap detil langkah langkahnya.
“Dulu tak ada gadis yang tak pandai bertenun, malu kalau tak bisa bertenun, karena anak gadis zaman dulu tak ke Malaysia, orang Sambas tidak ke Malaysia, mereka berdagang saja kesana,” ingatnya.
Begitu banyak jenis kain tenun songket Sambas, Ibu Mardiah menguasai cara pembuatan semuanya.
“Alat tenun itu dari alam, mulai dari akar kayu dan rotan, sekarang sudah diganti tali untuk mengikat papan yang digulung benang, lalu ada kulit kelapa yang kita sisakan serat-seratnya untuk menyisir benang, ada turak dan pelating untuk menyusupkan benang, ini terbuat dari bambu, ada gulungan benang yang dibuat dari kayu belian, masih banyak lagi peralatannya,” kata Ibu Mardiah.