You are currently viewing Budaya Melayu Tangkal Radikalisme

Budaya Melayu Tangkal Radikalisme

Pojokkatanews.com- Malam itu beberapa pemuda berkumpul di sebuah cafe di tepi jalan raya kota tebas, kecamatan tebas, kabupaten sambas.

Belasan pemuda ini kontras dengan para pengunjung lainnya,mereka menggunakan pakaian khas melayu zaman diraja, bercelana panjang diatas mata kaki, berbaju rompi lengan panjang, berkain setengah tiang atau berbelat genteng, dan memakai sengkek kebanggaan.

Seluruh bahan pakaian terbuat dari kain benang emas songket sambas, meski tanpa keris kebesaran, apa yang dipakai para pemuda ini seolah kembali menggetarkan hati para puak melayu sambas, mengingatkan kembali kepada generasi bahwa beginilah gagahnya para pemuda melayu dahulu, tanpa embel aliran, tanpa sebutan kanan atau kiri.

“Tujuan kami adalah mencari dan menggali falsafah hidup tamadun melayu, kami ingin mengingatkan kembali, mendeskripsikan bagaimana rasa bangga dengan memakai pakaian khas lelaki melayu, kami membuat sendiri penutup kepala yang disebut sengkek ini,”ujar Azman satu diantara pemuda tersebut.

Kekhawatiran akan terkikisnya nilai nilai melayu dalam kehidupan masyarakat bahkan didalam darah melayu itu sendiri menyeruak di sanubari para pemuda tersebut.

Terlebih hantaman demi hantaman menerjang generasi muda Bumi Sambas seolah tak kunjung jeda, Narkoba, asusila dan wabah paham radikal beruapaya menggerogoti daerah yang dulunya dijuluki serambi mekahnya Kalimantan Barat ini.

Karenanya ada kala dimana  belasan pemuda tersebut melakukan kampanye untuk tak sekedar mengetahui kita melayu, tetapi juga menanamkan kembali nilai religi dan budaya melayu yang selalu termaktub dan menjadi nilai perilaku di Sambas.

“Kami biasa memakai pakaian melayu seperti ini di cafe-cafe atau tempat nongkrong muda mudi di Kecamatan Tebas, kami ingin mengenalkan kembali nilai khazanah melayu yang sarat akan nilai religi serta moral, anak muda di Sambas terancam bahaya narkoba dan paham radikalisme yang makin meraja, serta asusila yang kian menyandera, kami sangat khawatir akan hal ini, karenanya dengan tamaddun melayu kami yakin akan kembali mengingatkan para remaja dan orang tua bahwa kita melayu dan melayu adalah bangsa yang kuat secara religi, santun serta memiliki moral yang tinggi, bukan aliran manapun, serta adat agama yang utama, bukan paham isme yang bertujuan porak poranda, menjaga pergaulan serta berbakti,”runut Azman.

Kendati demikian, mengenalkan kembali budaya bagi komunitas ini bukanlah hanya tentang busana dan cerita, falsafah tak cuma sebatas sikap dan cara bertindak, akan tetapi cermin diri dan mencintai NKRI.

“Kami juga masih sangat memerlukan bimbingan dari tokoh masyarakat, para tetua dan mereka yang lebih paham tentang ragam bangsa melayu,”ujar Azman.

Penampilan bak hang tuah ini juga diakui menarik banyak mata, tak cuma remaja dan warga biasa, Pangeran Ratu Muhammad Tarhan selaku pemegang tampuk kuasa kesultanan Sambas juga memberikan apresiasi positif.

“Mantap komunitas ini, nanti kita atur waktu bertemu saat saya pulang kesambas, kita kopi bareng,”ujar Pangeran Ratu yang saat ini sedang menyelesaikan studinya di Bandung.

Bermacam bentuk aktualisasi budaya melayu juga dirasakan mulai pupus dan tergerus zaman serta peradaban, karenanya belasan pemuda puak melayu ini juga menumpahkan nilai melayu tersebut pada beragam media bermacam cara.

“Kami selalu berusaha mendeskripsikan ragam melayu dalam pelbagai cara dan media, diantara kami ada yang menumpahkannya melalui lukisan, menggerakkannya lewat tarian, menyuarakan lewat nyanyian dan membuatnya utuh lewat seni melipat sengkek atau tanjak,”tuturnya.

Sejauh ini memang, upaya mempertahankan budaya melayu berlangsung secara saremonial di Sambas, entah itu lewat acara hajatan seperti pernikahan dan syukuran. Namun tak banyak yang menampilkan visualisasi utuh busana melayu seperti yang dilakukan komunitas tamaddun melayu ini.

Visualisasi adat dan budaya ini kata Azman merupakan sebuah bukti bahwa Budaya dan Agama adalah seiring saling mengisi, sedangkan radikalisme merupakan anti dari keduanya, karena berasaakan paham kekerasan.

“Berbudaya melayu, berarti ber Islam seperti yang diajarkan oleh Nabi dan para wali, dengan demikian pemuda yang mencintai budaya, sudah barang tentu beragama, dan asimilasi ini memberikan kita jalan hidup yang damai, hidup damai berarti tanpa paham radikalisme, karena yang menganut itu sesungguhnya adalah penjajah yang memaksakan kehendaknya,”pungkasnya.

Layak untuk diikuti dicontoh dan diteladani, bersikap melayu bertutur melayu, berpegang teguh pada norma timur dan syariat agama islam dalam berlaku. 

Tinggalkan Balasan