You are currently viewing Saprahan Sambas, Rumit, Indah, Tetap Lestari
Masyarakat Sambas Besaprah

Saprahan Sambas, Rumit, Indah, Tetap Lestari

Sambas,SP- Ragam budaya melayu sangat kental dirasa, dijaga dan terus dilakukan masyarakat Kabupaten Sambas. Di Wilayah yang sering disebut serambi mekahnya Kalimantan Barat ini, tradisi terus menyemat dan terpatri didalam kehidupan sehari-hari hingga pada acara atau perhelatan tertentu.

Satu diantara budaya yang terus terjaga dan dilestarikan hingga kini adalah makan Besaprah (Saprahan). Tak hanya di berbagai daerah di Kalbar, Sambas juga memiliki budaya yang satu ini, dengan ciri dan khas nya yang unik.

Makan Besaprah adalah puncak suatu perhelatan, sebagai bentuk keramah-tamahan dan komitmen memperlakukan tamu sebagai insan istimewa ibarat raja.

Makan besaprah tak hanya ada pada acara menikah, tak hanya ada pada kegiatan besar atau majelis bersama. Ianya hadir dalam sendi, mengakar dalam denyut nadi kehidupan sehari hari orang Sambas.

Jika pada daerah lain selain di Sambas, masyarakatnya makan bersama di meja yang telah tersaji aneka hidangan. Tidak demikian dengan daerah yang ber-Sultankan Pangeran Ratu Muhammad Tarhan ini. Di Bumi Sambas, rakyatnya mengabaikan kursi dan meja kala menyantap hidangan di masing masing rumah, bersila dan duduk bersama anggota keluarga adalah cara menikmati hidangan makan siang, malam dan seterusnya.

“Bukannya tak punya meja dan kursi makan, tapi ini kebiasaan sejak kecil sejak sebelum kita lahir dari nenek datuk kita,”ujar Almizan, warga Desa Rantau Panjang.

Itu adalah makan besaprah pada skala keluarga yang masih terwariskan dan akan terus dijaga hingga kelak dan seterusnya.

Seirama dengan kebiasaan dirumah, makan besaprah juga menjadi kewajiban pada suatu perhelatan dan majelis orang melayu Sambas.

Mulai dari acara khitanan, gunting rambut pertama, pernikahan hingga berbagai kegiatan lainnya, makan besaprah adalah puncak dari segala acara.

Pada gelaran majelis orang melayu sambas tersebut, tampak ciri yang menjadikan makan besaprah di Sambas sebagai sesuatu yang unik, rumit dan sarat makna.

Makan besaprah melayu Sambas, tak hanya menekankan pada satu hal saja.
Ianya sangat kompleks dengan berbagai unsur yang telah dipersiapkan beberapa hari sebelumnya.

Pada sebuah acara di Sambas, makan besaprah dipersiapkan oleh tim yang memang dibentuk jauh hari sebelumnya pada sebuah musyawarah yang disebut pakattan.

Pada pakattan inilah dibentuk dua tim yang mengurus khusus makan besaprah tersebut.

Tim yang pertama disebut dengan tim perancap, tim ini memiliki tugas mengumpulkan piring, sendok, tempat mencuci tangan (kobokan), piggan saprah, gelas dan taplak atau kain saprahan.

Selain mengumpulkan perlengkapan tersebut, tim perancap bertugas membersihkan seluruh perlengkapan dan menyusunnya sesuai dengan pasangannya.

Tidak sembarangan menentukan pasangan dari perlengkapan tersebut, hal ini dikarenakan keseragaman dan siapa yang akan menggunakannya pada saat makan besaprah juga sangat menentukan.

Beda bunga piring beda pula pemakainya, piring terbagus serta perangkat saprahan terbaik diatur untuk dipergunakan oleh mereka yang memiliki status istimewa seperti Haji, Pejabat atau tokoh masyarakat terkemuka.

Keseragaman warna, bentuk dan ukuran serta keindahan menjadi syarat mutlak perangkat saprahan untuk dipergunakan oleh orang dengan status istimewa tersebut.

“Diatur mulai dari warna, corak dan bunga piring serta cangkir hingga tempat cuci tangan, yang terbaik dan terbagus akan digunakan oleh orang penting seperti Haji, Pejabat atau tokoh masyarakat terkemuka,”ujar Arbiyan, satu diantara orang yang bertugas mengatur rancapan.

Tugas tim perancap tak hanya sampai disini, mereka bertanggung jawab mempersatukan kembali piring dan perangkat lainnya sesuai corak dan bunga usai dicuci, kemudian di lap atau dikeringkan lalu dipergunakan kembali bagi undangan perempuan.

Selanjutnya, setelah tim perancap juga terdapat tim emper emper, tim ini memiliki tugas khusus menyusun lauk pauk, nasi, air minum dan taplak seprahan untuk kemudian diangkut ke tarub tempat resepsi atau tenda tamu.

Tim ini akan memastikan susunan lauk pauk sesuai dengan tata letak dan kuantitas yang ditentukan. Menjaga keindahan penyajian makanan hingga kebersihannya.
Tim ini juga mengakomodir penanak nasi (berapi) atau orang yang bertugas memasak nasi dalam jumlah yang sangat banyak.
Tim emper emper akan mengontrol kualitas nasi yang dimasak, tak boleh terlalu lembek dan tak boleh terlalu keras.
Tim ini juga yang menunjuk petugas khusus yang bertugas mengisi pinggan saprah (tempat nasi).

Orang ini dituntut memiliki keahlian dalam menghitung atau memperkirakan kuantitas nasi dalam satu piring atau pinggan saprah.

“Harus cukup untuk enam orang, boleh sedikit berlebih tapi tidak boleh kurang, itu akan membuat tuan rumah menjadi malu,”jelas Arbiyan.

Tim besurong tarub dituntut memiliki kecakapan dalam hal mengatur hidangan. Mulai dari meletakkan tempat cuci tangan di pucuk kain saprahan hingga menyusn air minum serta mengatur jarak antar saprahan.

Selanjutnya, satu demi satu saprahan diatur dan disusun agar muat duduknya namun tak bersenggolan para penikmatnya.

Kemudian terdapatlah pengatur duduk saprahan, bertugas mengatur duduk makan para tetamu yang hadir, agar saprahan pas dengan jumlahnya tak kirang dari enam apalagi sampai berlebih.

Ketika makan, para tamu dan undangan pun tak kalah sopan dalam menyantap hidangan, mendahulukan yang tua, tak bersuara saat makan, apalagi sampai tamak menghabiskan hidangan akan jadi pergunjingan.

Enam pinggan dan lima jenis lauk pauk menjadi simbol filosofi saprahan melayu sambas yang kental akan nilai religius.

Enam pinggan nasi adalah rukun iman sedangkan lima jenis lauk pauk adalah rukun Islam. Ini menjadi budaya yang melekat dalam sendi sendi kehidupan masyarakat Sambas. Karenanya daerah ini dipanggil sebagai serambi mekahnya Kalbar.

Secara umum prinsip dari makan besaprah di Sambas adalah sebuah kerjasama banyak pihak untuk memuliakan para tamu dan undangan dengan pelayanan yang sempurna.

Menjaga nama tuan rumah serta kehormatan Desa menjadi taruhan, kesempurnaan menjadi tuntutan, budaya menjadi tuntunan.

Akhirnya penilaian akan diberikan, usai menyantap hidangan, para tetamu dan undangan berjabat tangan, pulang dan membawa cerita tentang kesempurnaan pelayanan.

Segala yang kurang akan jadi pembicaraan, sekecil detil apapun akan jadi pelajaran bagi mereka yang kelak akan melalsanakan hajatan dan makan besaprah menjadi giliran. (Red)

Tinggalkan Balasan